silhouette of person on window
KDRT dalam
Perspektif Sosiologis

rewplaw.com - Secara sederhana, rumah tangga adalah suatu kelompok yang terdiri dari sepasang suami istri, anak, mertua, dan sebagainya. Rumah tangga yang sering terjadi kekerasan adalah tempat yang kehidupan penghuninya terdiri dari berbagai status, seperti suami istri, orang tua, anak, orang yang memiliki hubungan darah, orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga yang bersangkutan, orang lain yang tinggal di sana. , dan orang-orang yang masih atau pernah tinggal bersama dalam satu rumah tangga. Sedangkan ruang lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bab 1 Tentang Ketentuan Umum Pasal 2 meliputi suami, istri, anak, orang yang mempunyai hubungan dengan suami, istri dan anak karena hubungan darah. , perkawinan, menyusui, pengasuhan dan perwalian yang tinggal dalam rumah tangga tersebut, dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan mendiami rumah tangga tersebut.

Rumah tangga dengan keluarga inti hanya terdiri dari suami, istri, dan anak. Di masyarakat juga banyak ditemui rumah tangga yang terdiri dari anggota keluarga lain seperti mertua, mertua dan sanak saudara berdasarkan hubungan darah atau perkawinan dengan suami istri yang bersangkutan. Selain itu, rumah tangga dalam kehidupan perkotaan modern umumnya diramaikan dengan kehadiran orang lain yang berperan sebagai pembantu. Penolong tersebut dapat berasal dari saudara atau keluarga dari suami istri yang bersangkutan dan dapat juga dari pihak luar.

Perilaku atau tindakan kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu fakta sosial bukanlah suatu hal yang baru dalam perspektif sosiologi masyarakat Indonesia. Permasalahan ini sudah berlangsung lama dan masih berlanjut hingga saat ini. Kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, Bab 1 Tentang Ketentuan Umum Pasal 2 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, khususnya perempuan, yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikis dan/atau penelantaran dalam rumah tangga. termasuk ancaman untuk melakukan tindakan melawan hukum, pemaksaan atau perampasan kebebasan dalam rumah tangga.

Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan fakta sosial yang bersifat universal karena dapat terjadi dalam rumah tangga tanpa membedakan budaya, agama, suku, dan usia pelaku maupun korban. Oleh karena itu, dapat terjadi pada rumah tangga keluarga sederhana, miskin dan terbelakang, maupun pada rumah tangga keluarga kaya, terpelajar, terpandang dan terpandang. Tindakan kekerasan ini dapat dilakukan oleh suami atau istri terhadap pasangannya masing-masing, atau terhadap anak, anggota keluarga lainnya, dan terhadap pembantunya secara sendiri-sendiri atau bersamaan. Perilaku destruktif tersebut berpotensi menggoyahkan sendi-sendi kehidupan rumah tangga dengan sederet akibat yang melatarbelakanginya, termasuk yang terburuk seperti perpecahan rumah tangga.

Dalam kurun waktu yang lama, tindak kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia cenderung bersifat laten dan jarang muncul ke permukaan. Akibatnya, kejadian tersebut lebih merupakan kejadian sederhana yang kurang menarik dibandingkan fakta sosial yang patut mendapat perhatian khusus dan penanganan serius dari masyarakat dan pemerintah. Kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia masih terjadi dimana-mana, jumlah kasus dan intensitasnya cenderung meningkat dari hari ke hari. Media massa cetak dan elektronik Indonesia tidak pernah sepi dari pemberitaan dan informasi terkini mengenai tindak kekerasan dalam rumah tangga, termasuk yang terjadi di rumah tangga para selebritis.

Kekerasan seksual seperti pemerkosaan merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang korbannya dapat laki-laki maupun perempuan. Para kriminolog sering mengatakan bahwa statistik kejahatan pemerkosaan, termasuk kejahatan dalam rumah tangga, bagaikan gunung es. Data statistik mengenai tindak kekerasan jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah sebenarnya peristiwa pemerkosaan yang terjadi. Dalam masyarakat terbuka, tidak semua kasus pemerkosaan terungkap, terutama pada unit yang lebih kecil seperti keluarga.

Kekerasan (Dalam Rumah Tangga) sebagai Konsep Sosiologis

Kekerasan dalam rumah tangga secara konseptual dapat disamakan dengan kekerasan lainnya, termasuk kekerasan politik. Sebagai perbandingan terhadap masalah ini, Gurr mendefinisikan kekerasan politik sebagai berikut:

“semua serangan kolektif dalam suatu komunitas politik terhadap rezim politik, aktor-aktornya – termasuk kelompok-kelompok politik yang bersaing serta petahana – atau kebijakan-kebijakannya. Konsep tersebut mewakili serangkaian peristiwa, yang ciri umumnya adalah penggunaan kekerasan yang sebenarnya atau yang telah diolah…. Konsep ini mencakup revolusi, … perang gerilya, kudeta, dan kerusuhan.”

Pengertian di atas menunjukkan bahwa tindak kekerasan politik mempunyai cakupan yang sangat luas, mencakup seluruh peristiwa yang unsur utamanya adalah penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku/aktor atau kelompok aktor penentang kekuasaan negara. Selain itu, Galtung mengartikan kekerasan dalam arti yang lebih luas sebagai “setiap hambatan yang dapat dihindari terhadap realisasi diri”, yaitu segala sesuatu yang menyebabkan seseorang terhambat dalam mengaktualisasikan potensi dirinya dengan baik.

Konseptualisasi kekerasan yang dikemukakan Galtung mencakup dua jenis kekerasan, yaitu kekerasan langsung atau personal dan kekerasan tidak langsung atau struktural. Kekerasan langsung adalah kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok aktor terhadap pihak lain (violence-as-action), sedangkan kekerasan struktural hanya terjadi dalam suatu struktur (violence-as-structure) atau masyarakat tanpa aktor tertentu atau dilakukan oleh suatu pihak. seseorang atau sekelompok orang dengan menggunakan cara-cara kekerasan.

Berdasarkan kedua definisi perbandingan tersebut, kekerasan dalam rumah tangga dapat diartikan sebagai suatu perbuatan penggunaan kekuasaan atau wewenang secara sewenang-wenang tanpa batasan (abuse of power) yang dimiliki oleh pelaku yaitu suami atau istri atau anggota rumah tangga lainnya, yang dapat mengancam individu. keselamatan dan hak. setiap. dan/atau anggota rumah tangga lainnya seperti anak, mertua, mertua, dan pembantu.

Penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang ini dimungkinkan karena situasi yang terbentuk dalam rumah tangga dimana dominasi seseorang terhadap orang lain sangat kuat karena beberapa faktor seperti yang akan dijelaskan nanti. Dominasi ini akan terus berlanjut selama tingkat ketergantungan pihak yang didominasi terhadap pihak dominan tetap tinggi.

Biasanya, kekerasan dalam rumah tangga yang mengancam keselamatan individu dalam sebuah rumah tangga berasal dari pihak suami atau istri. Namun terkadang ancaman serupa juga bisa datang dari anak atau anggota keluarga lainnya, termasuk pembantu rumah tangga, sebagai reaksi protes atas tekanan berlebihan dan perlakuan negatif yang diterimanya. Faktanya, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pembantu rumah tangga saat ini bukan lagi hal yang kecil dan sepele karena sering terjadi terutama terhadap anak dan juga majikannya, baik dalam bentuk penyiksaan ringan hingga pembunuhan.

Dari penjelasan di atas, kekerasan dalam rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi lima bentuk, yaitu:

  1. Kekerasan fisik berupa pemukulan dengan tangan atau benda, penganiayaan, pengurungan, beban kerja berlebihan, dan ancaman kekerasan

  2. Kekerasan verbal berupa makian, meludah dan bentuk hinaan verbal lainnya

  3. Kekerasan psikologis atau emosional yang mencakup pembatasan hak individu dan berbagai bentuk aksi teror

  4. Kekerasan ekonomi melalui tindakan membatasi penggunaan keuangan secara berlebihan dan pemaksaan kemauan untuk kepentingan ekonomi, seperti memaksa orang untuk bekerja dan sebagainya

  5. Kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan seksual paling ringan sampai dengan pemerkosaan

Contoh Kasus

Sebelum terungkap dan menjadi perhatian publik luas, kekerasan dalam rumah tangga bersifat tertutup dan cenderung dipahami oleh pelaku dan korban sebagai urusan privat dalam ranah privasi yang sangat dibatasi. Kehadirannya di ranah privasi semakin kental seiring dengan sikap orang-orang disekitarnya yang juga cenderung cuek dan tidak mau ikut campur dalam permasalahan rumah tangga orang lain. Sikap acuh tak acuh yang ditunjukkan masyarakat setempat terhadap kasus ini masih terasa kuat hingga saat ini, apalagi jika masyarakat sekitar rumah tangga yang mengalaminya belum sepenuhnya lepas dari praktik kekerasan dalam rumah tangga, bahkan dalam bentuk yang paling ringan sekalipun. Jika dijelaskan satu per satu alasannya, maka akan ditemukan banyak faktor yang menyebabkan penutupan ini terus berlanjut. Diantaranya yang paling kuat dirasakan adalah munculnya sikap hidup individualistis yang semakin berkembang khususnya di kalangan masyarakat perkotaan, serta tips menghindari konflik terbuka antar masyarakat.

Salah satu contoh kasus yang menarik perhatian masyarakat luas adalah kekerasan yang dialami Ary Anggara di Jakarta sekitar tahun 1980an. Remaja laki-laki dari keluarga terpelajar dan berkecukupan ini berulang kali dipukuli dan disiksa oleh orang tuanya sedemikian rupa tanpa pengekangan dan belas kasihan.

Kasus KDRT yang sensasional lainnya adalah kekerasan yang menimpa Nirmala Bonet di Kuala Lumpur, Malaysia. Pekerja migran perempuan (TKW) yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga asal Kupang, Nusa Tenggara Timur ini, mengalami penyiksaan berat di tangan majikannya, yakni seorang perempuan Tionghoa bernama Yim Pek Ha. Kasus ini terungkap pada pertengahan Mei 2004 setelah seorang satpam kondominium tempat tinggal majikannya melaporkan kondisi Nirmala kepada polisi setempat dengan wajah dan kepala penuh lebam saat menangis di tangga kondominium. Polisi kemudian membawanya ke Rumah Sakit Kuala Lumpur dan kemudian ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur.

Publik Malaysia dan Indonesia memberikan reaksi dan kecaman keras karena kekerasan yang dialami pembantu rumah tangga selama lima bulan berturut-turut begitu serius dan memprihatinkan. Ia disiksa sedemikian rupa oleh majikannya dengan setrika panas di dada dan punggungnya hingga kulitnya melepuh dan mengkerut. Kepalanya dipukul dengan besi dan seluruh badannya disiram air panas. Harian Suara Merdeka menyebutnya sebagai bentuk penyiksaan paling kejam yang pernah ada. Foto Nirmala Bonet yang terluka menyebar dengan cepat ke seluruh dunia hingga menimbulkan reaksi internasional.

Ini adalah contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga yang paling serius dengan pengingkaran hak-hak individu. Ivy Josiah, Direktur Eksekutif Asosiasi Bantuan Perempuan Malaysia, mengatakan: “Kasus Nirmala adalah kasus ekstrem. Yang juga kami khawatirkan adalah kekerasan sehari-hari, seperti tidak adanya hari libur, kekurangan makanan, kekurangan tempat tidur, tidak menerima upah, dan sebagainya.” Jelas bahwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena kekuasaan dan dominasi, “Ini adalah kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga. tentang kekuasaan. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh rasa tidak aman mereka sendiri dan kebutuhan mereka untuk mempertahankan suatu bentuk kekuasaan.”

- REWP Law